Fotografi, Puisi dan Zona nyaman.
Berbicara tentang fotografi selalu berhubungan dengan
cahaya, berbicara tentang puisi selalu berurusan dengan pemilihan kata dan
rasa, lalu zona nyaman selalu ada di dalamnya.
Mengenal fotografi ketika tahun 2007, masih dalam balutan
putih abu. Tak pernah memperdulikan diafragma, Shuter speed, iso dll. Tapi
semua soal rasa. Bagaimana ketika melihat hasil jepretan penilaian selalu
berakhir di senyuman. Maka nilainya adalah memuasakna. Satu poin sudah tercatat
di papan score.
Ketika memahami tentang tata cara dan berbagai teknik yang
di pakai, kadang malah menutupi rasa. Terlalu kental dengan teknik, semua yang
sederhana malah menjadi jelimet. Dan penilaian ini sekarang tak semudah seperti
dulu. Semenjak saat itu saya sedikit meninggalkan fotografi. Hanya sesekali
senang mengabadikan sesuatu yang indah dengan jepretan dari kamera sekenanya
dan alakadarnya.
Berbeda dengan puisi, mengetahui puisi dari mendengarkankan
ibu guru di bangku SD. Di jejali berbagai teknik terlebih dahulu, berkembang
sejalan dengan masa pendidikan, semakin di ceritakan teknik dan sejarah tentang
puisi, tapi nyatanya puisi saya di asah ketika saya terbentur yang namanya
cinta.
Mendadak menjadi sastrawan yang di mabuk asmara, tulisan
indah mengalir begitu saja. Saya akui itu luar biasa pada zamannya, tapi jika
di telaah sekarang iyuuuuuuuuuuuuh saya di buatnya. Sambil mencaci diri sendiri
“gila ini amak benar-benar di mabuk asmara”.
Berbeda dengan fotografi. Semakin tahu teknik, malah saya
semakin tidak peduli, malah lebih senang mengikuti kata hari, memvisualkan
perasaan lewat tulisan. Menyatakan hitam dalam balutan yang berbeda. Memoles
suasana dan membuatnya menjadi perayaan atau pesta. Lebih meriah dan menjadi
sesuatu di dalamnya. Tapi entah karena apa di suatu hari saya berhenti
menyaring kata-kata untuk di suling menjadi puisi. Tidak ada metafora atau
diksi di hari-hari saya. Dan hari saya hanya mengalir secara kontekstual dan
baku.
Barulah di sauatu hari saya menyadari selalu ada rasa dalam
jepretan saya, gambar yang terekam dalam mata lensa, selalu ada makna yang
lebih. Seperti saya ingin berdialog dengan sesuatu. Dan dialog saya begitu
tidak biasa. Dan di sanalah peran puisi untuk menyampaikannya. Mata lensa yang berkalaborasi dengan metafora, lalu bukaan
cahaya dengan pemilihan kata. Semua melebur dalam satu rasa. Fotografi puisi.
Yah mirip-miriplah dengan rangga dalam AADC yang katanya
sedang membuat buku fotografi dan puisi, tapi belum juga kelar, teryata di luar
film bukunya kelar juga. Tapi di
selesaikan oleh Aan Mansyur sebagai penulis puisi dan Moh Riza sebagai
fotografer. Yang menarik di sini, Aan Mansyur mencoba menulis puisi dari sudut
pandang Rangga, menjadi Rangga dengan New yorknya. Menjadi Rangga yang
membenamkan cinta dalam perasaan paling dalam. Bukunya cukup menarik , menjadi salah satu koleksi di rak
buku saya. Di salah satu platform, mungkin ada yang mengenal goodreads, dalam kolom review bukunya yang berjudul Tidak ada new york hari ini, saya
menyelipkan sebuah komentar.
Saya juga belum terlalu mendalami, apakah gaya Fotografi
puisi benar-benar menjadi sebuah aliran yang baru. Dan resmi menjadi salah satu
gaya berpuisi. Mungkin ada teman-teman yang punya informasi lebih. Silahkan
berbagi di kolom komentar. Sedikit browsing ternyata ada, dan salah satu tokoh
fotografi puisi yaitu Arik S Wartono. Masih dalam proses mengumpulkan data, saya akan coba
cari-cari lagi berbagai referensi untuk membantu saya mengembangkan fotografi
puisi.
Lalu apa hubungan dengan zona nyaman ?. Yah zona nyaman itu
bagi saya fase dalam mengembangkan fotografi puisi. Saya terjebak dalam zona
nyaman untuk tidak menyentuh fotografi. Terlalu malas untuk di pengaruhi
teknik khusus, saya malah nyaman untuk tidak memperdulikannya lagi. Begitu
pula puisi, saya nyaman untuk tidak mengutak-ngatik bahasa kembali, terlalu
arogan untuk mengesampingkan keresahan yang sebenarnya tidak terbendung dan
ingin di utarakan dalam keindahan bahasa. Dan saya terlalu nyaman untuk biasa
saja.
Selebihnya sekarang saya kembali menyentuh kamera yang dulu
pernah saya tinggalkan, kembali mau mengutak ngatik angka dalam kamera, lalu
kembali berani merenung untuk memikirkan seperti apa puisi ini jadinya. Semua mengalir
tetapi ada tujuan, ada keinginan dan ada penolakan terjebak zona nyaman yang
terlalu nyaman.
Bandar udara dan kita
Bandara udara ini. Ruang lepas landas segala ego. Titik
rendah samar-samar yang mulai memudar.
Suasana berbau keramaian. Decitan ban troli yang mengangkut
setumpuk koper. Entah menuju pulang atau pergi.
Ada aku yang duduk pura-pura tenang.
Mendung menjamu kota kita. Rintik seolah menggoda.
Ku tunggu kau di pintu kedatangan.
Sejujurnya bukan kau yang aku tunggu.
Tapi masa lalu kita yang merangkap dengan masa depan.
Kita secara sadar
mengesampingkan.
Kita secara bodoh mengasingkan bahkan pura pura
lupa.
Kemana kisah ini akan bermuara.
Tiba pada titik pendaratan, atau kembali terbang tanpa
tujuan
Rindu
Aku menghilang di sudut belantara.
Kita menghilang di telan suasana.
Aku terjatuh, tersandung cerita kemarin.
Yang lebih patah itu hati.
Berdarah-darah tapi tak berwarna.
Ku cium bayanganmu dalam lamunanku.
Tapi di buyarkan suasana.Pagi buta dan lalu lintas kota.
Selalu ada dalam kisah dan cerita..
Ada aku di dalam setiap kesedihan kota.
Ada kita yang berlaga kuat tetapi nyatanya mengiba.
Ada rindu di gerbang yang selalu kau buka.
Ada rindu di bau harum kibasan kerudungmu.
Ada rindu yang terselip dalam nama panjangmu.
Sebuah foto memang bisa bercerita banyak
ReplyDeleteApalagi jika diambil dari sudut yang tak biasa
yup setuju mba, ketidak biasaan memberikan cerita yang luar biasa. makasih udah berkunjung ;)
Delete"...Mata lensa yang berkolaborasi dengan metafora..." --> SETUJU BANGET!
ReplyDeleteNice writing :))
www.iamandyna.com
hahaha ;)
Delete