Rindu untuk tidak tahu.
Pintar, berwawasan luas dan menjadi serba tahu, pandangan orang biasanya begitu berbinar di iringi berbagai tanya dan opini. Sesaat begitu ingin berada di posisi orang seperti itu, aku berpikir begitu hebat, bisa menyelesaikan berbagai persoalan dengan wawasannya, bahkan menjadi ujung tombak ketika berada dalam posisi terjepit. Tapi tunggu apa betul menjadi orang yang serba tahu selalu menjadi yang terbaik ?.
Pertanyaan itu beriring dengan pemikiran yang lainya. Beradu persepsi, tetapi hasilnya malah memunculkan sebuah kalimat. "Aku rindu untuk tidak tahu." Kadang ketidaktahuan malah menempatkan pada posisi yang lebih baik, menyerempet ke arah legowo . Dalam beberapa aspek, aku rindu menjadi orang yang tidak tahu. Dalam ranah pekerjaan misalnya, ketika aku menjadi orang yang tidak tahu cara mendesain dengan teknik dan acuan yang segambreng itu. Aku kerap sering berlari dengan imajenasi, saling berkejaran melupakan tata cara dan sebagainya. Membuat karya yang begitu aku. Berdiri pada posisi paling ego dalam berkarya dan akhirnya melahirkan karya atas dasar kepuasan.
Berbeda ketika semua harus pada kotak yang bernama permintaan, meladeni ini dan itu, belum lagi masalah teknik yang di gunakan. Sampai pada akhirnya untung rugi yang menjadi soal.
Belum lagi menjadi orang yang tahu, akan memaksa ego untuk menunjukan, seperti ada rasa “karena aku tahu, seharusnya di utarakan.” Padahal memberikan jeda untuk orang lain begitu indah. Seperti pandai memainkan ritme. Dan begitulah kerinduan untuk tidak tahu berlanjut.
Selanjutnya menyerempet pada sebuah hubungan. Dulu kita begitu tidak tahu ini akan di bawa kemana, hanya batas samar dan angan yang membuat kita menciptakan imajenasi tentang sebuah ruang lingkup rumah tangga. Tujuan itu begitu manis, tidak banyak paksaan, hanya kepercayaan yang selalu menjaganya. Tapi ketika garis tegas dalam kata itu menjadi jelas, semua di arahkan bahkan di tentukan. Ada sebuah tekanan, ada sebuah perasaan untuk berlomba akan kesana. Aku merasa seperti pelari marathon yang di kejar warga karena di tuduh maling celana tetangga. Kejarannya semakin buas dan beringas, padahal nyatanya aku berada pada track lari yang benar.
Kenapa ketika aku tahu jalanan ini semakin terarah, aku semakin merasa sulit, jalanan yang seharusnya di lalui dengan senyuman malah menjadi celah untuk saling beradu ego. Kembali terselip kata. “Seandainya aku tidak tahu, mungkin ini akan lebih baik.”
Kadang tidak tahu menjadi pengobat dari rasa yang menekan. Seolah mengosongkan pikiran. Tapi semua menjadi berubah seiring waktu. Waktu seolah menjejali dengan berbagai pengetahuan, memaksa memenuhi pikiran dengan materi yang di butuhkan kehidupan. Mungkin berharap untuk tidak tahu itu sulit. Atau mungkin masih ada cara dalam mengakalinya, dengan pura-pura tidak tahu. Sebuah pura-pura yang elegan, sebuah pura-pura yang di dasari rasa ingin menghargai, sebuah pura-pura atas dasar untuk lebih baik. Selebihnya akan merasakan kerinduan. Sebuah kerinduan untuk tidak tahu saja.
Semacam Rindu
Rindu itu sebenarnya perasaan ego yang romantis. Ingin yang tidak terbalas dan harapan yang berusaha untuk lepas.
Kadang rindu datang di iringi sesal, ada pada iming-iming seharusnya. Atau tumbuh pada suasana yang tidak teduga, atau gugur pada saat-saat yang tak semestinya.
Tapi rindu juga begitu lucu, kadang tersemat Cuma pada bau badanmu, atau membaur dalam mimpi.
Bahkan malah menempel pada hangat nafasmu ketika dekat aku.
Walau sebenarnya terkadang rindu berbarengan dengan musibah. Semacam wabah tidak jelas dan mengobrak-ngabrik perasaan yang pernah tumbuh subur dalam ladang atas nama kita.
0 comments:
Post a Comment