Cerpen : Alasan untuk pergi.
Puluhan pertanyaan berusaha
menghujamku, aku hanya terdiam, bibirku terkunci rapat-rapat. Otaku seakan
berhenti sejenak kemudian mencoba kembali bergerak sebagaimana mestinya.
Suara-suara sekitar seakan menyembunyikan artikulasi. Hanya hening dan buram
yang menyertai.
Aku tak pernah bisa menjawab semua
pertanyaannya , aku hanya bisa dengan diam meninggalkannya. Meninggalkan dia
yang akhirnya terduduk lemah. Menenggelamkan mukanya dalam himpitan kedua
tangannya yang di iringi dengan air mata.
Apakah aku salah ?. jelas iyah atau
mungkin. Aku tak pernah bisa berbicara banyak, tidak, aku tidak bisu. Aku hanya
bodoh dalam merangkai kata secara verbal. Kalimat yang keluar kadang beriringan
dengan emosi dan kebodohan. Dan demi menekan segala kebodohan yang lainnya aku
putuskan untuk hanya diam dan memilih bungkam.
Aku hanya bisa mencurahkannya dalam
tulisan, setidaknya kata yang tertulis bisa aku baca dan aku ganti ketika aku
merasa tidak cocok dengan isinya. Mungkin terlihat bodoh dan pecundang. Tapi
aku harap ada sisi keromantisan dalam bau kertas dan kalimat-kalimat yang di
tata sedemikian rupa.
Untuk Asti,
Maaf aku hanya bisa pergi dan
membiarkanmu dengan jutaan pertanyaan dan kemarahan.
Maafkan aku yang tak banyak bicara
dalam menanggapi semua ucapanmu.
Dan seharusnya kamu tahu, setelah
hari itu, aku tak mau menyakitimu lagi dengan kata-kata.
Dan sekarang biarkanlah aku
berbicara lewat tinta dan tulisan.
Ketika kamu mengatakan ini adalah
akhir, dan tidak pernah ada alasan untuk mempertahankan ini semua. Aku malah
sebaliknya.
Aku malah tidak pernah menemukan
alasan untuk pergi, selalu saja ada jawaban.
Aku harap ini bukan sebuah bentuk
pertahanan dari ego.
Aku harap ini adalah pertahanan
terakhir dari alam bawah sadarku untuk mempertahankan semua ini.
Kamu berkata semua sudah menjadi
hambar, terlalu banyak sakit hati dan terlalu sering kata-kata buruk
menghantui. Aku kembali minta maaf untuk semuanya, semua ucapan yang
menyakitimu. Aku tak punya teori pembenaran apapun. Aku hanya bisa duduk dalam
diam dan kembali menyesali. Aku harap doaku akan kembali menyembuhkanmu. Aku hanya
bergantung kepada kuasa Tuhan dan segala mekjizatnya. Dan bila hati itu di
izinkan untuk menjadi benih baru. Aku bersedia menjaga dalam siang dan malam,
dalam tandus atau derai hujan. Atau bahkan dalam semua keadaan yang masih di
pertanyakan.
Kau suruh aku kembali mencari
penggantimu, aku hanya diam dan mengingat, sejujurnya kau seudah curang Asti. Pada
setiap wanita yang ku temui, selalu ada namamu tersemat dalam setiap nama
mereka. Selalu ada senyuman yang begitu lekat di hari-hariku yang lebih manis
dari senyum mereka. Kau terlanjur menyentuh hatiku begitu dalam, sehingga
siapapun yang masuk tak akan pernah menyentuh dasar hatiku. Kau curang asti. Kecurangan
yang begitu aku sukai. Dan selalu aku nikmati. Hingga aku memang tak sanggup
pergi.
Terlalu banyak yang kau perjuangkan
untuku, kesabaranmu, erat rangkulanmu, dan besarnya harapanmu. Aku tahu kau
sekuat apa asti. Dan itu bukan alasan untuk aku menjadi lemah dan pergi. Aku tak
ingin merangkul seseorang yang hanya berada pada tujuan akhir, tapi aku selalu
ingin berdampingan dengan seseorang yang selalu aku pegang erat tangannya
sepanjang jalan menuju akhir.
Dan sekali lagi aku tak pernah
menemukan alasan untuk tak merindukanmu, rindu yang menghembuskan sejarah dan
cerita, rindu yang selalu membawa pelukan dan mimpi-mimpi. Dan rindu yang berharap
pada segala pertanyaan yang tidak pernah membutuhkan alasan.
Sekali lagi maafkan aku, aku takan
pernah dan taakan bisa menemukan alasan untuk pergi darimu.
Maafkan aku beserta segala
keegoisanku.
Dari aku yang tidak pernah
menemukan alasan untuk pergi
Anjar.
Di ujung sana, Asti menatap
lekat-lekat tulisan itu, ada gemuruh dalam hatinya, ada pesan yang ingin ia
sampaikan, dan kembali ada tetesan air mata membasahi surat itu. Dan mungkin ada
rasa yang kembali tergugah.
0 comments:
Post a Comment